GELORACO -Dosen Universitas Indonesia atau UI, Ade Armando menyebutkan bahwa gus Yaqut beri dukungan secara terbuka kepada Syi’ah dan Ahmadiyah.Menurut Ade Armando, gus Yaqut selaku menteri agama adalah orang yang berpikiran prulalis seperti gus Dur. Menurut Ade Armando, sejak menjabat sebagai menteri agama telah menyatakan bahwa › Opini›Gus Dur, Gus Yahya, dan Fikih ... Fikih siyasah peradaban telah memancing kembali suatu pemikiran teologi yang mendasar dalam Islam, yaitu posisi manusia setara di depan manusia lain dan hukum, bukan hanya di depan Tuhan. HERYUNANTOIlustrasiSejak meninggalnya Gus Dur di akhir Desember 13 tahun yang lalu 30 Desember 2009, tahun-tahun berikutnya, sebulan sebelum dan sesudah Desember selalu ramai dengan haul Gus Dur secara berkesinambungan oleh berbagai komunitas, bukan hanya NU dan pesantren, melainkan juga kelompok agama-agama, kepercayaan lokal, kesenian, dan Dur memang memberikan inspirasi yang sangat dalam bagi para pemeluk agama-agama dan kepercayaan dalam membangun dialog dan harmoni. Ramainya haul Gus Dur selama tiga bulan tersebut tidak pelak menandai rindu masyarakat akan dialog dan harmoni tersebut yang lengket dengan ketokohan Gus Dur. Agar kita tidak hanya mengingat dan berharap melainkan mengembangkan dan mempertajam lebih jauh kiprah yang telah dilakukan Gus Dur, ada baiknya kita melihat lebih dalam apa yang dilakukan oleh PBNU di bawah KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya saat ini. Gus Yahya menyatakan sebagai pelanjut Gus Dur, termasuk dalam memperkokoh kesetaraan manusia dan warga negara yang berbasis pada agama atau teologi juga Gus Dur dan Problem Bangsa KitaGus Dur telah membangun fondasi keislaman bagi nasionalisme, kesetaraan manusia, dan kewargangaraan Indonesia meskipun harus berhadapn dengan rezim keyakinan dan kekuasaan yang kukuh yang ditopang oleh basis teologi Islam yang mapan. Hingga kini sebagian, jika tidak sebagian besar, imajinasi umat Islam yang tertanam adalah suatu ”kawin paksa” antara negara-bangsa yang menuntut kesetaraan mutlak di antara warga negara dengan parokialisme-keumatan yang mengedepankan identitas keagamaan tertentu. Sebagian, jika tidak sebagian besar, negara-negara di Asia dan Afrika yang memiliki basis kuat agama masih melandaskan pada parokialisme agama mungkin pengecualian, setidaknya secara konstitusional dan formal. Negara yang tidak mengidentikkan diri dengan agama dan etnis mayoritas ataupun minoritas tertentu dalam konstitusi dan filosofi Pancasila serta semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Masalahnya, apakah hal itu sudah menjadi kesadaran bersama bagi seluruh warga bangsa dan kelompok agama-agama serta diimplementasikan dalam kenyataan dan kebijakan publik pemerintah?DIDIE SWIlustrasi Gus DurPilihan politikKata moderasi, harmoni, toleransi, dan wasatiyah dalam pespektif ini sesungguhnya cara menghindari tabrakan secara langsung dalam ”kawin paksa” tersebut untuk tidak menjadi aktual namun tidak menyelesaikannya. Kata-kata tersebut juga mengandung pemakluman dan basa-basi terhadap ide-ide dasar akan diskriminasi dan kokohnya identitas agama dalam politik bagi kelompok tertentu. Kata-kata itu, bagi Gus Yahya, misalnya, belum menunjukkan pilihan politik yang jelas atas paham agama tentang kesetaraan mutlak begi kemanusiaan dan politik dalam beragama itulah tampaknya yang hendak disasar oleh Gus Yahya dalam kiprah lebih lanjut tentang hubungan dan dialog antaragama. Dengan kata lain, kemanusiaan dan kewarganegaraan harus menjadi dasar bagi pengembangan ide-ide keagamaan Islam kini dan ke depan, atau beliau menamakannya, fikih siyasah dan kewarganegaraan harus menjadi dasar bagi pengembangan ide-ide keagamaan Islam kini dan ke depan, atau beliau menamakannya, fikih siyasah demikian, fikih siyasah peradaban hendak menuntaskan konsep mendasar Islam tentang kemanusiaan dan kewarganegaraan tersebut, lepas dari pengembangan metodologi kajian dan praktik Islam apapun, kemanusian dan kewarganegaraan harus menjadi landasan utama. Dengan kata lain, seluruh pergulatan dan proses pemikrian dan praktik fikih harus dilandasarkan kepada hamparan kenyataan akan tuntutan kesetaraan sudut tertentu yang paling mendasar, Gus Yahya hendak membawa kembali gerbong fikih sebagai pengetahuan knowledge yang luas ke dalam belantara keilmuan mutakhir serta benturan kekinian dalam situasi nyata tentang pergolakan dan menguatnya sentimen keagamaan, polarisasi sosial, serta identitas keagamaan yang sering menjadi senjata politik dalam konflik dan perang. Kemudian, menjadikannya jalan dan muktamar fikih peradabanLebih dari itu, dari kegiatan Forum Agama G20 R20 yang diinisiasi oleh PBNU bekerja sama dengan Rabithah Alam Islamy, sebuah pertemuan para agamawan secara global di awal November lalu, telah didorong terjadinya semacam konsensus global agama-agama tentang penghapusan doktrin-doktrin setiap agama yang selama ini menjadi acuan dan landasan bagi maraknya sentimen agama, polarisasi sosial, dan menguatnya identitas politik yang berlebihan. Selanjutnya di puncak acara peringatan satu abad NU di awal Feburari tahun depan hendak dikukuhkan melalui pertemuan yang juga bersifat internasional antar para ulama Islam, yaitu muktamar fikih bagian dari peta jalan roadmapperubahan tersebut, muktamar fikih peradaban dipersiapkan secara cukup matang didahului dengan penyelenggaraan berbagai halaqoh seminar di pesantren-pesantren di seluruh Indonesia. Sejak Agustus 2022 hingga Januari 2023 diselenggarakan sebanyak 250 kali dengan 150-200 peserta setiap halaqoh dari Sabang hingga Meraoke. Ada empat topik yang dibahas dalam halaqoh tersebut, yaitu fikih siyasah negara-bangsa, fikih kewarganegaraan, fikih minoritas, dan fikih tata dunia juga Fikih Moderasi BeragamaMutamar fikih peradaban akan menjadi ajang terbangunnya semacam konsensus baru bagi masyarakat Muslim dunia tentang suatu tata dunia baru yang berintikan kesetaraan mutlak bagi manusia dan warga negara yang didasarkan kepada teologi atau fikih Islam. Meskipun masih harus dikonseptualisasikan lebih lanjut tentang dua konsensus tersebut, jika dilihat dari visi dan motiviasi KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PBNU, penggagas kedua hajatan global tersebut, akan berujung kepada penghapusan dan menghentian penggunaan doktrin-doktrin utama agama-agama bukan hanya Islam yang selama ini menjadi basis bagi terbangunnya identitas politik dan kekuasaan yang mengundang ketegangan dan perang. Sisi lain dari tata dunia baru, dengan kata lain, adalah menjadikan agama sebagai landasan bagi kesetaraan manusia dan warga negara ini sekaligus menjawab kritik dari para ilmuwan dan filosof modern terhadap Islam terutama Aswaja yang dianggap telah berhenti pemikiran teologi pasca Imam Asy’ari sebagai penengah antara Muktazilah yang berbasis akal dan Jabariyah yang berbasis naql atau dalil teks suci. Fikih siyasah peradaban telah memancing kembali suatu pemikiran teologi yang mendasar dalam Islam, yaitu posisi manusia setara di depan manusia lain dan hukum, bukan hanya di depan Tuhan. Suatu pencarian baru konsep dan praktik keadilan global serta sumbangan Islam atasnya. Tidak mudah bukan?Ahmad Suaedy, Dekan Fakultas Islam Nusantara, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, JakartaDOKUMENTASI PRIBADIAhmad Suaedy 1] Dibanding dengan kakeknya, Gus Dur begitu dekat dengan golongan Syiah. Ketika terjadi revolusi Iran, Gus Dur mengatakan “Khumayni waliyullah terbesar abad ini” Oleh Maulina Dewi SYIAH merupakan sebuah sekte yang muncul pasca wafatnya Baginda Nabi. Sebagaimana yang dicatat oleh Imam al-Asy’ari dalam kitab Maqālat Islāmiyyin bahwa awal mula perselisihan yang terjadi pada umat Islam —pasca wafatnya Rasulullah ﷺ — adalah perselisihan dalam perkara Imamah kepemimpinan”. Setelah Kaum Anshar mengatakan “Kita semua sama-sama memiliki sosok pemimpin” Minna amīrun wa minkum amīrun akhirnya kepemimpinan pun jatuh di tangan Abu Bakar. Begitu juga yang terjadi pada khalifah ketiga, Ustman bin Affan, dan keempat, Ali bin abi thalib yang pada saat itu sedang memuncaknya perseteruan. Ahmad Amin, salah seorang sastrawan Mesir, juga menjelaskan dalam bukunya Fajr al-Islam bahwa sebenarnya benih Syiah telah muncul tepat pasca Rasulullah ﷺ wafat. Mereka yang mempelopori sekte ini menganggap bahwa hak kekuasaan dalam kepemimpinan hanya sah diberikan kepada ahlu bait. Ahlu bait yang paling utama menurut pandangan mereka adalah Abdullah bin Abbas dan Ali bin Abu Thalib dengan lebih mengunggulkan Ali dibanding Ibn Abbas. Kekuatan sekte ini membubung tinggi saat kekhalifahan benar-benar telah sampai pada tangan Ali bin Abi Thalib. Setelah pembaiatan Sayyidina Ali, Kufah dijadikan markaz pemerintahan, sehingga di sanalah akar syiah tertanam kuat yang kemudian menyebar ke suluh penjuru bumi lihat Hayat al-Syi’ir fi al-Kufah Demikian paparan peneliti INSISTS, Dr. Syamsuddin Arif dalam Diskusi Ilmiah yang diadakan oleh Senat Mahasisiwa Fakultas Ushuludin Universitas Al-Azhar yang bekerjasama dengan Ruwaq Indonesia dalam tema “Menyorot Syiah di Indonesia” Sabtu 09/02/2019 lalu. Dalam pandangan Dr. Syamsuddin, sebelum memaparkan tentang Syiah, sebaiknya kita membuat distingsi terlebih dahulu; apa yang dimaksud dengan Syiah, siapa dan apa masalahnya? Karena orang awam di Indonesia banyak yang terkecoh hanya karena tidak paham. Sebagai contoh, mereka sangat mudah ditipu oleh berbagai pendapat yang berdalih bahwa kata syiah’ merupakan kata yang disebutkan dalam al-Qur`an. Padahal kalimat yang disebutkan dalam al-Qur`an tidak berarti memliki makna kebenaran. Misalnya, kata fir’aun’ lebih banyak disebutkan daripada Muhammad, apa lantas disimpulkan peran fir’aun yang di gambarkan adalah benar? Tentunya tidak. Syiah yang disebut dalam al-Qur`an bisa kita beri makna secara terminologis. Untuk mencairkan suasana dan mempermudah penjelasan, intelektual muslim kelahiran 71 ini memberikan sebuah contoh sederhana dengan mengatakan “idza kuntum tansuruna Jokowi, fa antum Syiah Jokowi”, jika kalian berpihak pada kubu Jokowi, misalnya, artinya kalian adalah pengikutnya. Tetapi yang disinggung dalam pembahasan Syiah disini tentunya lebih spesifik dari area terminologis. Baca Soroti Syiah di Indonesia, Senat Mahasiswa Ushuluddin Al Azhar Kairo Adakan Dialog Beranjak dari makna terminologis, kita akan mendapati Syiah dalam sekte-sekte Islam —yang terpaparkan dalam permasalahan firaq islamiyah— sebagai Syiah dalam ranah politis. Sekte ini bermula dari perang sipil yang akhirnya meletus setelah terbunuhnya Sayyiduna Utsman bin Affan. Golongan Syiria dikomandoi oleh Muawiyah, yang menolak untuk mengakui legitimasi khalifah keempat, Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Di sisi lain terdapat kelompok yang menyetujui Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah, dan inilah yang disebut sebagai Syiah atau kelompok yang mendukung Ali bin Abi Thalib. Namun semua itu telah terjadi 1400 tahun yang lalu. Artinya, wafatnya para sahabat telah menjadi penutup lembaran Syiah politis. Lalu Syiah yang bermunculan setelah zaman sahabat itulah yang dinamakan Syiah ideologis worldview. Akidah mereka berbeda dengan Ahlus Sunah. Dapat dilihat indikasinya dari tiga pembagian syiah; pertama, Syiah Tafdhil golongan yang meyakini bahwa sayyidina Ali bin AbiThalib merupakan sahabat yang paling utama tanpa mengkafirkan sahabat yang lain. Kedua, Syiah Rafdh golongan yang mengingkari tiga khalifah sebelum Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Ketiga, Syiah Ghuluw golongan yang mengkuduskan, mendewakan bahkan menuhankan sayyidina Ali dan para imam garis keturunan sayyidina Hussein Ra. Penyebaran Syiah telah sampai di belahan bumi Asia tenggara, salah satunya Indonesia. Meskipun dalam hal ini golongan Syiah di indonesia minoritas tetapi ada indikasi bahwa Syiah terus berkembang, baik secara kualitas maupun kuantitas di berbagai kota. Ustadz alumni Ponpes Darussalam Gontor tersebut mejelaskan bahwa terdapat beberapa pendapat yang tersebar di Indonesia mengenai Syiah. Ada yang menganggap bahwa syiah hanya madzhab, ada yang berdalih banyak persamaan antara syiah dan Ahlus Sunah, dan ada juga argumen yang mengatakan bahwa Syiah itu tidak monolitik. Di Indonesia sebagian orang berusaha mencari titik temu, mencari kesamaan-kesamaan, entah disengaja atau tidak dengan mengabaikan perbedaan-perbedaanya. Dr Syamsuddin mengutip perkataan pak Kiyai Abdurrahman Wahid, mantan presiden RI keempat, “Syiah adalah NU plus imamah dan NU adalah Syiah tanpa imamah”. Maksudnya, presiden yang sohor dipanggil Gus Dur itu menggarisbawahi perbedaan di antara keduanya yaitu persoalan Imamah. Peneliti INSISTS tersebut juga mengutip perkataan direktur jenderal pendidikan Islam kementrian agama yang kontradiksi dengan pemaparan sebelumnya. Kutipan tersebut berbunyi, “Ketika Sunni dan Syiah mengatakan Tuhan yang sama, nabi yang sama, kiblat dan syahadat yang sama, mengapa perbedaan harus dibesar-besarkan? Tentunya ini menyalahi akidah. Padahal orang Syiah sendiri, seorang profesor dari Iran yang berwargannegara Amerika mengatakan dalam Ensiklopedia Iranika “Ideologi Syiah berkisar pada keyakinan mengenai imam yang disebut Imamologi”. Bagi orang Syiah, imam itu ma’shum bersih dari dosa, atau menyamakan derajatnya dengan Nabi dan Rasul, bahkan mereka meyakini imam adalah hujjah bagi umat Islam, dan pada diri imam-imam tersebut terdapat titisan ruh dari imam yang sebelumnya. Imam yang mati sebelumnya dipercayai hanya sembunyi, hingga suatu saat nanti akan kembali. Oleh karenanya ada istilah aqidah roj’ah’, imam qoim’ yang berdiri atau bangkit dan imam qoid’ pasif atau yang tidak melawan pemerintahan melainkan hanya pemimpin spiritual dalam komunitas Syiah.” Baca Al-Azhar, Sunni dan Syiah Yang menjadi masalah kita terhadap ajaran mereka di antaranya adalah; penghinaan mereka kepada para Sahabat Nabi, gemar memalsukan hadis dan kepercayaan mereka adanya konsep tanâsukh pindahnya roh nabi kepada para imam mereka. Menurut Dr. Syams, ada tiga kata yang dapat mewakili sosok mereka, i Deviator penyimpang, ii Koruptor perusak, dan iii Fabrikator pemalsu. Lalu jika ingin ditelisik lebih dalam mengenai Syiah ideologi ini, kita akan menemukan konsep yang bernama Huseinsentris’. Dalam Kitab al-Ma’ārif karya Ibnu Qutaibah disebutkan silsiah sekaligus nama-nama istri dan keturunan Sayyidina Ali. “Putera dari seluruh istrinya berjumlah 21, tetapi yang ramai di telinga kita hanya Hasan dan Hussein, lalu yang sembilan belas kemana? Mengapa yang dinobatkan sebagai imam hanya dari garis keturunan sayyidina Hussein?,” ujar Dr. Syams. Jawabannya bisa ditemukan pada sebuah legenda versi mereka. Legenda yang mereka yakini benar-benar suatu peristiwa yang pernah terjadi dahulu kala. Bahwa Persia runtuh setelah diserang dan ditaklukan oleh muslim sejak masa Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq. Lalu disempurnakan pada zaman Sayyidina Umar bin Khattab. Dalam legenda tersebut disebutkan bahwa Raja Persia, Yazdegerd III memiliki seorang putra dan dua orang putri. Riwayat menyebutkan bahwa kedua putri raja tersebut dibawa ke Madinah sebagai tawanan perang. Kala itu sebagian sahabat mengingat pesan Rasulullah ﷺ, jika ada orang yang dihormati kaumnya, hendaknya para sahabat juga menghormatinya idza atâkum karîmu qawmin fa-akrimûhu . Karena putri-putri itu termasuk bangsawan yang disegani, maka mereka tidak ditawan, bahkan salah satunya, Shahrbanu dinikahkan dengan Sayyidina Hussein. Dari rahim putri Shahrbanu lahirlah seorang imam yang dikenal dengan Ali Zainal Abidin. Merupakan salah satu budaya penduduk Iran menyebut nama seorang putri bangsawan dengan sebutan penghormatan. Mereka menyebut Shahrbanu dengan sebutan bibi, sebutan untuk perempuan suci. Sampai sekarang warga Iran percaya bahwa makam Bibi Shahrbanu masih ada, sehingga didirikan di atasnya bangunan untuk menjadi tempat ziarah di Teheran bagian selatan. Mereka mempercayainya sebagai tempat mustajab yang bisa mengabulkan segala doa yang dipanjatkan para perempuan. Makam tersebut berada di atas puncak bukit di Teheran selatan. Ribuan wanita berdesakan di sekitar makam, menangis, mencari pelipur hati dan keberkahan. Bagi warga Iran, pernikahan Imam Hussein dengan Bibi Shahrbanu yang merupakan ibu dari imam Syiah yang keempat itu ditamsilkan sebagai pernikahan antara Iran dan Islam. Hasil perkawinan inilah yang melahirkan Syiah ideologi. Oleh karenanya dari perspektif sosiologis, papar Dr. Syams, Syiah adalah perkawinan antara iranisasi dan islamisasi, dan imamologi syiah bisa dilacak di sini. Mereka hanya menta’dzimkan keturunan imam Hussein, karena darinya bertemu darah biru Quraisy dan Persia. Pertemuan dua nasab ini menjadi pelumas berkembangnya Syiah. Baca Ketika Syiah Menguasai Mesir Ditambah lagi dengan terjadinya peristiwa Karbala, yaitu pada saat Sayyidina Hussein dan kerabat-kerabatnya tewas bertempur dalam pertempuran tidak seimbang antara pasukan Ibnu Ziyad Gubernur Kufah masa itu dan pasukan Sayyidina Hussein yang jumlahnya lebih sedikit lihat Tarikh al-Thabary, v/347-351. Tragedi tragis tersebut menjadi bahan bakar ideologi Syiah sekaligus sendi penyebaran ajaran mereka. Bahkan untuk memperingati Hari Asyura yang memilukan itu, komunitas Syiah di berbagai belahan dunia —ikut serta didalamnya komunitas Syiah Indonesia— mengadakan kegiatan seremonial dengan penyiksaan diri berdarah sebagai bentuk penebusan kesalahan masa lalu nenek moyang mereka. Keberadaan Syiah di Indonesia tidak berkesudahan menuai serang-menyerang dalam selimut antar umat Islam di bawah naungan ormas masing-masing. Jika dibiarkan, perkara ini mengancam persatuan agama dan kebangsaan. Ironisnya, mereka sangat berpegang teguh pada ajaran ideologinya dengan bertaqiyah menyembunyikan ke-Syiahannya dalam penyebaran dakwah. Suara mereka sangat sulit dideteksi sebab tidak mengaung lantang. Benda semu sebaiknya diterawang dengan penglihatan mikroskop, atau setidaknya tidak dengan kacamata yang sama semunya. Dalam bahasanya Dr. Syams, “Kalau kita memandang sesuatu yang eror dengan otak yang eror pula, maka negara akal sehat pun tak akan pernah terwujudkan”. Tawa para tamu undangan serentak menggemuruhkan aula. Sebelum penulis buku berjudul “Bukan sekedar Madzhab Oposisi dan Heterodoksi Syiah” itu menutup pemaparannya, beliau berpesan agar kita bersungguh-sungguh dalam belajar selagi kesempatan masih terbuka lebar di hadapan kita, karena dengan begitu kita akan mengetahui sesuatu dengan hakikat pengetahuan. “Sebagai mahasiswa Indonesia yang belajar di al-Azhar, hendaknya kalian juga mempelajari tentang Syiah. Sebab Syiah telah, masih dan akan hidup di antara masyarakat kita di Indonesia,” ujar Dosen Senior Pascasarjana UNIDA Gontor ini.* Penulis adalah Mahasiswi Fakultas Bahasa Arab Universitas Al-Azhar Mesir dan Pimpinan Majalah Latansa Kairo periode 2017-2018
Ulamaensiklopedis, demikian cendekiawan muda NU Zuhairi Misrawi menyebut KH Jalaluddin Rakhmat, itu telah pulang ke Rahmatullah, Senin, 15 Februari lalu. Terus terang, saya sangat kaget. Tak dengar kabar sakitnya. Begitu tiba-tiba, Covid-19 telah merenggutnya, menyusul istri tercinta yang wafat empat hari sebelumnya. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.
Pasuruan ANTARA News - Ratusan umat Islam Syiah melaksanakan tahlil khusus untuk almarhum KH Abdurrahman Wahid di Masjid Astsaqolain Yayasan Pesantren Islam YAPI Kenep, Beji, Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, Sabtu. Pengajar Pesantren YAPI, Ustadz Segaf Assegaf menjelaskan, tahlil khusus tersebut untuk menghormati KH Abdurrahman Wahid sebagai tokoh pluralis yang tidak membeda-bedakan kelompok. Dia menyebutkan, meski Gus Dur tidak pernah mendatangi Pesantren YAPi di Bangil, umat islam Syiah merasa telah dibelanya. Ustadz Segaf mengatakan, sewaktu umat Islam Syiah dituduh mempunyai Alquran berbeda dari umat Islam lainnya, Gus Durlah yang melakukan klarifikasi bahwa Alquran umat Syiah sama dengan Alquran umat Islam lainnya. Ustadz Segaf juga mengungkapkan, pemikiran-pemikiran Gus Dur juga sangat pas dengan pendapat-pendapat Islam Syiah, sedangkan perbedaan-perbedaan selama ini hanya keniscayaan semata. Ia menjelaskan, umat Islam Syiah di Bangil selama ini juga secara rutin melaksanakan, tahlil, khaul, serta peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Kepala YAPI Bangil, Ustadz Abdul Mukmin menjelaskan, Yayasan Pesantrean Islam YAPI Bangil pada awalnya berdiri di kawasan Kancil Mas Bangil sekitar tahun 1974. YAPI Bangil sebelumnya berada di Bondowoso. Namun pada tahun 1985 YAPI Bangil pindah ke Kenep, Beji, untuk santri putranya. Sedangkan santri putrinya masih berada di Kota Bangil. Jumlah santri YAPI sebanyak 315 santri putra, dan 240 santri putri yang datang dari berbagai kota di Indonesia. Sementara YAPI hanya ada di Bangil, tidak membuka cabang di kota lain. Sistem pendidikannya mulai jenjang SMP hingga SMA serta Hauzah khusus agama Islam. *Pewarta Editor Jafar M Sidik COPYRIGHT © ANTARA 2010 KHAbdurrahman Wahid (Gus Dur) Beredar video yang memuat pernyataan seorang kiai mengaku keluarga Pesantren Lasem. Namanya Muhammad Ishaq Lasem. Ia Gus Dur Syiah adalah NU Plus Imamah’ Menurut budayawan Koentjoroningrat, terdapat tiga lapisan kebudayaan, yaitu ideofak, sosiofak, dan artefak. Tradisi dan budaya keagamaan memiliki tiga level/lapisan. Level terluar disebut artefak berupa simbol-simbol; level tengah disebut sosiofak berupa amalan ritus; dan level terdalam disebut ideofak berupa ide dan nilai dasar yang melandasi kedua lapisan lainnya. Ideofak adalah makna dan pesan inti dari tradisi dan budaya keagamaan. “Gus Dur pernah menyatakan bahwa NU adalah Syiah kultural. Gus Dur melihat ini dari kacamata kultural, bahwa tradisi-tradisi yang dijalankan orang NU sebagian mengindikasikan adanya pengaruh Syiah.” Agus Sunyoto, Baca juga Syahadat Syiah Berbeda dengan Ahlusunah? Apa yang dinyatakan Gus Dur merupakan refleksi beliau untuk mengungkap lapisan ideofak yaitu sistem makna yang tersembunyi di balik berbagai tradisi yag dijalankan oleh NU. Gus Dur memahami betul bahwa di balik simbol dan ritus terdapat lapisan ideofak, sistem signifikansi, dan itu adalah nilai dan spiritualitas Syiah. “Titik temu antara kita umat Islam Indonesia, terutama warga NU dengan Syiah yaitu seperti mahabbah Ahlulbait, sangat mencintai Habaib, Ahlulbait, cium tangan guru, cium tangan orang yang kita muliakan sama antara kita dan tradisi Syiah, baca Barzanji, baca Diba’, baca shalawat, haul, ziarah kubur, tawassul sama antara kita dan Syiah.” Prof. Dr. KH. Said Agil Sirajd Baca juga Menjawab Tudingan Mazhab Syiah adalah Sebuah Gerakan Politik Selain Sumatera dan Jawa, jejak spiritualitas Syiah juga ditemukan di berbagai daerah di Nusantara seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku hingga Sulu, Thailand, dan Malaysia. Di Sulawesi, peringatan Asyura masih dilangsungkan di beberapa wilayah meski tidak dilakukan secara kolosal seperti di Aceh, Bengkulu dan Pariaman. Masyarakat Muslim memperingatinya dengan memasak bubur khusus yang dikenal dengan bubur asyuro’. Sebagian besar orang Mandar menganggap bulan Muharam sebagai bulan bencana dan kedukaan yang tidak baik untuk menyelenggaraan perayaan kegembiraan seperti pernikahan, sunatan atau pendirian rumah. Dalam sebuah penelitian disertasi tentang identitas keagamaan di sebuah komunitas Muslim di Hatuhaha di Negeri Pelauw, Kecamatan Pulau Huraku, Maluku Tengah, seorang promovendus Universitas Gadjah Mada berhasil mempertahankan hasil penelitiannya. Namanya WW Salah satu temuan penting dari penelitian Yance Rumahuru adalah bahwa Syiah merupakan paham Islam yang pertama hadir di Hatuhaha, Pulau Haruku, Maluku Tengah. Sebagai seorang Nasrani, Dr. Yance tidak memiliki dilema antropologis yang mungkin dialami oleh seorang Muslim Sunni atau Syiah dalam penelitian ini. Sarjana lulusan Program Lintas Agama dan Budaya Pascasarjana UGM ini, menemukan sejumlah tradisi Syiah yang telah menjadi adat dan tradisi komunitas Muslim Hatuhaha. Baca juga Ali bin Abi Thalib Diagungkan Syiah, Sunni, dan Non-Muslim “Belakangan orang baru bilang bahwa Islam di Maluku im Sunni. Namun sebenarnya setelah saya melakukan penelitian tahun 2009-2011, saya menemukan bahwa di Maluku Tengah justru yang ada di sana adalah Islam Syiah. Kehadiran Islam di Maluku sendiri sebenarnya bisa ditarik ke belakang jauh sebelum kedatangan Portugis dan Belanda. Saya menemukan bahwa di abad ke-7, 8 dan 9 sudah ada orang-orang Cina dan orang Arab yang sebenarnya itu bukan orang Arab murni, tapi ada orang Persia yang datang juga ke Maluku dan mereka itu yang memperkenalkan Islam. Islam baru melembaga di Maluku baru pada abad ke-13, tapi di abad ke-7, 8 dan 9 itu saat perdagangan yang ramai. Islam sudah ada dengan kehadiran orang-orang Arab, Persia dan Cina tersebut. Pedagang Cina tidak diketahui agama mereka apa, tapi orang Persia dan Arab adalah Islam dan itu Syiah. Mengapa Syiah diterima di Maluku, karena tradisi-tradisi dan ajaran-ajaran Syiah itu cocok dengan budaya orang Maluku dan sebenarnya ritual-ritual Syiah memiliki kesamaan dengan ritual-ritual yang ada di Maluku. Karena itu lalu saya berkesimpulan bahwa sebenarnya Islam yang tertua di Maluku adalah Islam Syiah. Jadi, sebenarnya untuk menyebutkan bahwa Islam Maluku adalah Syiah terutama di Maluku Tengah. Ritual-ritual keagamaan dan ritual adat yang sudah disatukan dan itu adalah ritual-ritual Syiah. Baca juga Syiah Hakiki dalam Pandangan Sayyidah Fathimah Di Maluku Tengah, terutama di pulau Haruku ada komunitas Muslim Hatuhaha yang mempunyai ritual tiga tahunan, namanya Maatenu. Pemimpin ritual itu disebutkan sebagai garis lurus keturunan dari Ali. Di dalam “maatenu” tersebut sebenarnya seruan-seruan yang dinaikkan adalah seruan-seruan untuk memuji Ali. Pedang yang digunakan, pakaian yang digunakan semuanya mengindikasikan simbol-simbol Syiah. Saya punya penelitian menunjukkan hal itu. Seluruh ritual-ritual yang lain termasuk tradisi maulid yang di kalangan Islam di Nusantara cukup hidup. Di sana mereka tidak hanya merayakan kelahiran Nabi saja, tapi kelahiran-kematian dan penghormatan kepada sahabat-sahabat Nabi dan terutama sebenarnya mereka merujuk kepada Ali. Dalam tradisi Perkawinan, selain ijab kabul mereka itu selalu mengatakan “Ali suka Fatimah, Fatimah suka Ali dan itu sah.” Dr. Yance Rumahuru Ternyata, seperti karakteristik umumnya di berbagai daerah Nusantara, paham Syiah mengalami proses pribumisasi sedemikian rupa sehingga Syiah di Pulau Haruku disebut dengan istilah Islam Adat. Baca juga Toleransi Muslim Syiah “Dalam konteks komunitas Muslim di Pulau Hatuhaha Maluku Tengah itu, masyarakat sendiri sejak tahun 1939 mereka membagi diri menjadi Kelompok Syariah dan Kelompok Adat. Mengapa demikian? Itu terjadi setelah di akhir abad ke-18 dan 19 ada banyak orang dari Maluku Tengah yang belajar Islam ke Arab dan kemudian mereka kembali. Generasi itulah yang kemudian mensponsori untuk memurnikan Islam dan menjalankan syariat secara baik dan itu menjadi alasan utama untuk memisahkan diri dari kelompok mayoritas Syiah yang sebetulnya menyatu dengan kultur lokal masyarakat setempat sehingga mereka menyebutkan diri sebagai Kelompok Syariah dan kelompok Syiah yang mayoritas di posisikan sebagai Kelompok Adat. Dalam tradisi keagamaan setiap saat sebenarnya tidak ada pertentangan antara Kelompok Syariat dan Kelompok Adat. itu tampak dalam pelaksanaan setiap ritual. Setiap ritual yang dilaksanakan di Kelompok Adat, Kelompok Syariah juga berpartisipasi dan sebaliknya.” Dr. Yance Rumahuru Syiah juga telah hadir di Thailand, terutama di kota Ayutthaya Ayodya, ibukota Kerajaan Siam abad 14-18 M. ”Lebih dari seribu tahun yang lalu muslim dari Timur Tengah, Persia, India datang ke Thailand. Kami menemukan bukti-bukti adanya komunitas muslim di berbagai daerah Thailand seperti Ayutthaya. Ayutthaya merupakan ibu kota Thailand pada abad 14 hingga 18. Kami mengenal banyak tentang komunitas Muslim di kerajaan Ayutthaya, khususnya di kota Ayutthaya ibu kota Thailand. Saat ini ada beberapa reruntuhan dari desa Syiah di Ayutthaya dan reruntuhan masjid muslim Syiah. Tapi sekitar abad 18 dihancurkan oleh musuh. Karena Ayutthaya merupakan pusat muslim Syiah dari Iran dan daerah selatan India. Kami menemukan bukti-bukti kebudayaan muslim Syiah di Thailand khususnya bangunan, kultur dan kami menemukan lukisan dinding di Tatum yang menggambarkan tentang penyelanggaraan acara Asyura. Di Thailand kami menyebut acara ini Muharam yang merupakan acara atau perayaan yang sangat terkenal di Thailand.” Dr. Julisprong Chularatana Baca juga Sunni CIA dan Syiah MI6 Bekerja Memecah-belah Umat Islam Di Malaysia, Syiah tentu saja juga sudah hadir sejak sejarah awal Islam melalui berbagai literatur hikayat yang mengisahkan perjuangan Ahlulbait Nabi Muhammad SAW menegakkan kebenaran dan keadilan. “Pedagang-pedagang Persia telah datang untuk berdagang di alam Melayu seperti di Malaka, Aceh dan pusat-pusat perdagangan yang masyhur ketika itu. Sehingga dapat dilihat bahwa unsur-unsur Persia telah menular dalam aspek-aspek tertentu masyarakat Melayu di Asia Tenggara. Sebagai contohnya dari sudut bahasa. Banyak sekali bahasa-bahasa yang dipengaruhi oleh persia, contohnya terdapat hikayat Hasan dan Husein, hikayat Nur Muhammad, hikayat Hanafiyah.” Dr. Rabithah Mohammad Ghazali Seorang pengkaji literatur dan hikayat Melayu, Dr. Mohammad Faisal bin Musa, berkesimpulan bahwa sejumlah hikayat Melayu Yang muncul sejak awal mula kedatangan Islam ke Semenanjung Malaka adalah karya klasik Melayu yang mengandung ajaran Syiah dan bukan hikayat Sunni dengan pengaruh Syiah. Sarjana Universitas Kebangsaan Malaysia ini melakukan analisis teks terhadap sejumlah hikayat seperti Hikayat Muhammad Hanafiyyah, Hikayat Hasan Husen Tatkana Kanak-kanak, Hikayat Hasan Husen Tatkala Akan Mati, dan Hikayat Tabut. Baca juga Syiah-Sunni di Bawah Panji Imam Husain Mohammad Faisal menyebutkan pula bahwa sejak kedatangan Wahabi abad ke-19, hikayat-hikayat Melayu yang memuat ajaran Syiah itu mengalami apa yang disebutnya sebagai de-Syiahisasi. Sejumlah ajaran khas Syiah dinetralisasi dengan mengubah isi kisah, “Ada kecenderungan ahli-ahli yang datang dari tanah Arab yang kurang apresiatif terhadap Ahlulbait sehingga misalnya hikayat Muhammad Ali Hanafiyah diganti menjadi hikayat Hasan Husain, tapi hikayat Hasan Husain ini juga akhirnya diganti lagi, supaya tidak dimekarkan.” Prof. Dr. Abdul Hadi Pertanyaan yang muncul sekarang adalah Apakah semua tradisi, budaya dan literatur yang begitu kental memuat ajaran dan spiritualitas Syiah yang hadir di berbagai wilayah Nusantara sejak awal kedatangan Islam muncul begitu saja hadir semuanya serba kebetulan? Jika memang tradisi sanjungan dan pembelaan kepada keluarga Nabi dianggap sebagai ajaran Islam pada umumnya, mengapa banyak umat Islam di Nusantara saat ini tidak mengenal siapakah Sayyidah Fatimah, siapakah Al-Hasan, siapakah Al-Husain? Mengapa tragedi Karbala yang membantai keluarga Nabi hampir pupus dalam kurikulum pengajaran Islam? Akal sehat dan nurani yang bening diundang untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut. Dikutip dari buku Menguak Akar Spiritual Islam Indonesia, Peran Ahlulbait dalam Penyebaran Islam di Nusantara. Penulis TIM ICRO dan Tim ACRoSS Baca juga “SYIAH” ABI Post Views 10,010 TulisanGus Dur tentang islam dan orientasi sebagai sebuah bangsa. KH. Abdurrahman Wahid 8 Oktober 2018 6938. dan Musa al-Kadzim (perintis Syi’ah Istna ‘Asyariyah yang memerintah Iran dan menjadi kelompok mayoritas di Irak saat ini), menunjukkan betapa besar para pengikut beliau di seluruh dunia. Katakanlah para kelompok Sunni SURABAYA - Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama PWNU Jawa Timur memilih untuk merangkul warga Syiah di Sampang, Bondowoso, dan Jember, karena mereka umumnya warga yang tidak tahu tentang Syiah, sehingga tidak perlu dimusuhi. "NU sudah memutuskan bahwa Syiah itu sesat secara akidah, tapi NU memilih cara yang santun, dialogis, humanis, dan tidak melihat warga Syiah sebagai musuh, justru kami rangkul," kata Katib Syuriah PWNU Jatim KH Syafrudin Syarif di Surabaya, Kamis 19/12. Di hadapan 200 lebih peserta seminar bertajuk "Menyikapi Konflik Sunni-Syiah dalam Bingkai NKRI" yang diadakan Aswaja Center PWNU Jatim itu, ia mengatakan NU memilih cara yang humanis untuk menjaga keutuhan NKRI. "Syiah itu sangat berbeda jauh dengan Sunni secara akidah, tapi kami memilih cara yang santun agar mereka kembali pada jalan yang lurus, karena kami menilai warga Syiah itu umumnya tidak tahu persis Syiah secara akidah," katanya. Menurut ulama muda dari Probolinggo itu, tokoh NU KH Abdurrahman Wahid Gus Dur memang pernah melontarkan pernyataan bahwa orang NU itu lebih Syiah daripada orang Syiah, tapi pernyataan itu bukan berarti kooperatif pada Syiah. "Maksud Gus Dur yang sebenarnya adalah NU itu mengakui empat sahabat nabi yakni Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali, sedangkan Syiah hanya mengakui Ali, sehingga NU 'lebih' daripada Syiah karena tidak hanya mengakui Ali, tapi sahabat lain pula," katanya. Dalam seminar itu, pembicara lain, Ketua Komisi Hukum MUI Pusat, Prof Dr Mohammad Baharun SH MA, menyatakan Gus Dur juga pernah menyatakan Sunni adalah Syiah minus imamah. "Itu artinya Gus Dur menunjukkan kepada kita bahwa Syiah mengakui imamah," katanya. Namun, ia meminta masyarakat untuk berhati-hati karena Syiah itu menganut prinsip kontradiksi, antagonis, dan ambivalen. "Kalau Syiah versi Ali Syariati dan Syiah versi Muthohhar itu berbeda, maka perbedaan itu disengaja, agar masyarakat merasa ada hal yang benar dari Syiah," katanya. sumber AntaraBACA JUGA Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Klik di Sini

KangJalal curhat tentang kekecewaannya kepada Gus Dur. Seperti biasa, Presiden ke-4 RI itu hanya tertawa. Bukannya mengajak kembali ke NU, tapi justru merekomendasikan putra Kang

Judulvideo: Pesan Tajam Gus Fuad tentang Habaib, Wahhabi dan Syiah – Watch on Youtube Yuk Subscribe Sahara TV: Topik Lainnya. Serahkan kepada Mahkamah Allah, Abaikan Perbedaan Sunnah-Syiah! Pidato Gus Dur Tentang Ketokohan Imam Khomaini di Tengah Umat Islam. 1 min read. Ciri-ciri Khawarij dan Ahli Bid’ah.
Dikalangan masyarakat, syi’ir ini lebih dikenal dengan syi’ir Gus Dur. Gus Nizam menjelaskan bahwa syi’ir ini pernah dilantunkan di depan mendiang Gus Dur dan berharap bisa dilestarikan. Suara Gus Nizam yang memiliki unsur hampir sama atau dapat dikatan sama persis dengan Gus Dur, masyarakat semakin yakin bahwa syi’ir ini merupakan
iGzXuqG.
  • o6gvwsu5gm.pages.dev/355
  • o6gvwsu5gm.pages.dev/183
  • o6gvwsu5gm.pages.dev/404
  • o6gvwsu5gm.pages.dev/43
  • o6gvwsu5gm.pages.dev/250
  • o6gvwsu5gm.pages.dev/131
  • o6gvwsu5gm.pages.dev/120
  • o6gvwsu5gm.pages.dev/180
  • gus dur tentang syiah